Scholarship Motivation PhD- in Bahasa Indonesia

Loading

BAB 1

Untuk Apa Melanjutkan S3?

“Seseorang yang berhenti belajar, adalah orang lanjut usia, meskipun umurnya masih remaja. Seseorang yang tidak pernah berhenti belajar, akan selamanya menjadi remaja” – Henry Ford

Orang yang mempunyai ilmu mendapat kehormatan di sisi Allah dan RasulNya. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengarah agar umatNya mau menuntut ilmu, seperti yang terdapat dalam QS Al Qur’an,diantaranya :
Qs Al Mujadalah ayat 11:

يَرْفَعِاللهُالَّذِينَءَامَنُوامِنكُمْوَالَّذِينَأُوتُواالْعِلْمَدَرَجَاتٍوَاللهُبِمَاتَعْمَلُونَخَبِيرُُ
Artinya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.S. Al-Mujadalah : 11)

Hadits “Kewajiban Mencari Ilmu”

طَلَبُالْعِلْمِفَرِيْضَةٌعَلَىكُلِّمُسْلِمٍوَمُسْلِمَةٍ
Artinya :
”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”.(HR. Ibnu Abdil Barr)

Dan masih banyak lagi ayat Al quran serta hadits lainnya yang menjelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu.

Wanita melanjutkan studi sampai pascasarjana S3? Di luar negeri lagi? Buat apa? Toh saya tidak akan menjadi dosen/akademisi? Pertanyaan ini sering muncul dari lulusan sarjana fresh graduate, maupun lulusan magister. Dan bagi yang sudah bekerja, maupun yang sudah berkeluarga. Yang penting sekarang realistis saja, apalagi buat wanita. Cukup lulus kuliah, dapat pekerjaan, syukur-syukur dapat kerjaan sebagai PNS. Yang penting dapat penghasilan, aman sudah. Hal tersebut tidaklah salah, banyak pemikiran orang-orang yang cenderung lebih realistis.
Namun dalam pandangan saya, menuntut ilmu khususnya melanjutkan studi saat ini tidaklah serumit yang dibayangkan. Di era globalisasi saat ini, pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi sangat penting. Tidak hanya untuk meningkatkan kualitas pribadi seseorang, tapi juga untuk meningkatkan karir seseorang. Kongkritnya, gaji kita sebagai lulusan sarjana tentunya berbeda dengan lulusan pascasarjana, bahkan sangat berbeda cukup signifikan dengan gaji lulusan pascasarjana dari luar negeri. Faktanya, memang demikian.
Pendidikan memberikan pemahaman mengenai satu hal. Perkembangan ilmu pengetahuan tentu harus dibarengi dengan pemahaman atas dasar ilmu itu sendiri. Jelas, betapa pentingnya pendidikan sebagai bekal untuk bersaing di masa depan.
Mayoritas orang Indonesia beranggapan bahwa melanjutkan studi sampai S3 itu hanya untuk orang-orang yang ingin berprofesi sebagai akademisi/dosen. Bahkan dulu pun saya berpikir seperti itu. Hal itu memang tidak salah, karena sektor industri di Indonesia saat ini belum memerlukan orang lulusan S3. Beberapa perusahaan ada yang mensyaratkan lulusan S2, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan itupun untuk menempati posisi tertentu saja.
Berdasarkan data dari Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) dalam laporan tahunan yang berjudul Education at a Glance 2019, mengenai distribusi penduduk usia 25-34 tahun yang mengenyam pendidikan tinggi di beberapa negara, dilaporkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-3 terendah di atas India dan Afrika Selatan. Hanya 16% dari penduduk usia 25-34 tahun di Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi. Jumlah tersebut didominasi oleh sarjana atau S1, sedangkan S3 sangat sedikit.

Sumber: Education at a Glance halaman 44
https://www.oecd-ilibrary.org/education/education-at-a-glance-2019_f8d7880d-en

Isu krisis doktor ini juga diangkat dalam Global Competence Workshop Degree pada tanggal 29 September 2018 oleh Direktur Hubungan Internasional, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Maria Anityasari PhD (sumber: https://www.its.ac.id/news/2018/10/03/menelaah-minimnya-jumlah-doktor-di-indonesia/). Dalam situs tersebut disebutkan bahwa pada tahun 2017, jumlah doktor di seluruh Indonesia berjumlah 31.000 orang. Data ini diambil dari Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti). Jika jumlah tersebut dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia, artinya setiap satu juta penduduk hanya terdapat 143 doktor. Angka ini sangat jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga kita, Malaysia. Negeri Jiran tersebut memiliki jumlah 509 doktor per satu juta penduduk.
Hal tersebut menggambarkan betapa kesadaran masyarakat Indonesia untuk mengenyam pendidikan doktor masih rendah. Saya rasa bukan karena faktor keuangan, karena saat ini sponsor pendanaan beasiswa sangat banyak sekali, baik di Indonesia maupun internasional. Alasannya lebih kepada pola pikir, seperti “untuk apa S3 kalau tidak mau jadi dosen?” atau “untuk apa S3 kalau tidak berpengaruh pada jabatan dan gaji saya sekarang?”.
Setelah merasakan studi di Copenhagen dan berkenalan dengan banyak mahasiswa internasional baik S2 dan S3, akhirnya cara pandang saya pun berubah. Khususnya cara pandang mengenai pentingnya melanjutkan studi S3. Ketika studi S2, semua teman-teman sekelas saya berusia di bawah saya. Usia mereka sekitar 22-25 tahun. Di grup riset saya, mahasiswa yang sedang menempuh S3 berusia antara 26-30 tahun. Bahkan supervisor kami yang merupakan ketua grup riset, hanya bersilih usia 2 tahun di atas saya. Hal itu membuat saya berpikir, mengapa mereka begitu antusias dalam menempuh jenjang pendidikan tinggi? Bahkan tanpa jeda waktu atau masa vakum.
Rasa penasaran itu membuat saya banyak berdiskusi dengan teman-teman internasional. Dan sedikit demi sedikit terungkap bahwa tujuan karir mereka sangat beragam, mulai dari yang ingin menjadi akademisi, peneliti di lembaga riset, atau berkarir di dunia industri. Semuanya tidak salah, karena negara-negara maju di dunia ini sangat mengakomodir lulusan S3 untuk berkarir baik di dunia industri, riset, maupun akademisi. Bahkan jika kita iseng melihat-lihat lowongan kerja di Amerika, terutama perusahaan besar sekelas Apple, ExxonMobil, dan Merck & Co, mereka mensyaratkan pendidikan S3 untuk dapat diterima sebagai karyawan. Tentunya dengan posisi dan gaji yang juga mencengangkan. Sebagai contoh, gaji terendah seorang fresh graduate PhD di perusahaan bernama Exponent di Los Angeles, Amerika sebesar $ 62.000 per tahun, yang artinya $ 5.160 per bulan atau setara dengan 80 juta rupiah jika dikonversi dengan kurs 1 USD = Rp 15.600 per tanggal 21 April 2020 (sumber: https://www.simplyhired.com/job/).
Bagaimana? Menarik bukan? Oleh karena itu, dengan sepenggal tulisan ini, saya ingin sedikit membuka wawasan pembaca sekalian bahwa setelah lulus S3 bukan berarti kita hanya bisa menjadi dosen. Jika kita bisa melanjutkan studi S3 di luar negeri, kenapa tidak? Supaya kita lebih siap menghadapi persaingan bursa kerja internasional, yang tentunya merupakan sebuah tantangan.

BAB 2

Keliling Eropa Untuk Riset

“Seseorang yang berhenti belajar, adalah orang lanjut usia, meskipun umurnya masih remaja. Seseorang yang tidak pernah berhenti belajar, akan selamanya menjadi remaja” – Henry Ford

Saya sudah bercita-cita ingin mendalami nanoscience sejak saya masih berburu universitas untuk daftar S2. Alhamdulillah akhirnya saya memutuskan untuk menjadi salah satu mahasiswi di University of Copenhagen dengan beasiswa full. Saya teringat ketika pertama kali menjalani mata kuliah wajib di jurusan nanoscience berjudul Unifying Concept of Nanoscience, saat itu belum tergambar seperti apa dunia nanoscience ini. Setelah beberapa minggu menjalani kuliah ditambah tugas-tugas menulis artikel dan membaca banyak jurnal, akhirnya saya paham arah dari mata kuliah ini. Mata kuliah ini lebih fokus pada bidang nanobio-chemistry, yang sangat jelas berlawanan dengan latar belakang S1 saya yaitu fisika. Saya tidak menemukan minat dan kesukaan saya di bidang ini, tapi ada sisi positif lain yaitu saya mulai dikenalkan pada konsep dasar, teknik, dan metode yang digunakan dalam nanoscience.
Semester pertama pun berlalu dan saya harus mencari supervisor untuk menjadi pembimbing thesis. Setelah membandingkan beberapa grup riset, akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dengan grup riset Nanosturcture yang dipimpin oleh Associate Professor muda bernama Kirsten M. Ø. Jensen. Dia adalah seorang scientist di bidang nanocluster menggunakan metode X-Ray dan Neutron Scattering. Dari sinilah awal mula ketertarikan saya di bidang X-Ray dan Neutron Scattering dan awal mula petualangan saya mengunjungi fasilitas X-Ray dan Neutron Scattering terbesar di Eropa.
Beruntung saya memilih universitas di Eropa karena benua Eropa memiliki fasilitas X-Ray dan Neutron Scattering terbanyak dibandingkan benua lainnya. Negara-negara maju di benua Eropa sangat berperan dalam pendanaan fasilitas ini, bahkan ada beberapa negara yang memiliki fasilitas X-Ray dan Neutron Scattering sendiri dengan alokasi dana mandiri, contohnya Swedia, Jerman, Perancis, dan Swiss. Alhamdulillah saya sudah mengunjungi tiga dari empat negara tersebut untuk riset menggunakan fasilitas X-Ray dan Neutron Scattering.
Biaya pembangunan, pemeliharaan, dan penggunaan fasilitas X-Ray dan Neutron Scattering sangat mahal, sehingga tidak semua negara mampu membangun fasilitas ini. Di benua Asia, hanya ada beberapa negara yang memiliki fasilitas ini, salah satunya Jepang karena Jepang adalah negara yang sangat peduli dengan perkembangan IPTEK. Di benua Amerika, hanya USA dan Kanada yang memiliki fasilitas ini.
Saya sangat bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk mengunjungi beberapa negara di Eropa untuk tujuan riset yang biayanya ditanggung oleh kampus, dan saya pikir pengalaman saya ini jauh lebih berharga dibandingkan dengan teman-teman saya sesama pelajar Indonesia yang sengaja mengunjungi negara-negara tersebut untuk travelling. Lucunya bahkan ada beberapa teman saya sesama pelajar Indonesia yang berkata “mumpung sekarang kita ada disini, kapan lagi bisa liburan keliling Eropa?”. Bagi saya, perkataan dia membuktikan bahwa dia tidak akan lagi memiliki kesempatan untuk menginjakkan kaki di Eropa. Sedangkan saya berpikir sebaliknya, karena saya memiliki cita-cita untuk melanjutkan pendidikan sampai S3. Bagi saya, travelling adalah bonus selagi menjalani riset.

Pengalaman di Jerman

Saya pertama kali menginjakkan kaki di Hamburg, Jerman pada tanggal 16 April 2017 untuk menjalani riset selama 3 hari di Deutsches Elektronen-Synchrotron (DESY). Kami menyebut riset ini dengan istilah beam time yaitu menganalisis sample dengan cara diradiasikan sinar-X. DESY merupakan institusi terbesar di Jerman yang memiliki fasilitas X-Ray atau synchrotron.
Saat itu, saya melakukan beam time bersama supevisor dan 2 orang teman (satu mahasiswa Master dan satu mahasiswa PhD) di grup riset kami. Berhubung ini adalah pertama kalinya saya melakukan beam time, jadi saya di training terlebih dahulu oleh supervisor dan diperkenalkan dengan clean room dan semua peralatan yang ada disana.
Akses ke ruang radiasi hanya dimiliki oleh supervisor kami, sehingga dialah yang memiliki kontrol terhadap pengaturan suhu, energi radiasi, jarak sample ke sumber radiasi, dan teknis pengaturan lainnya. Tugas kami hanya menyiapkan sample, memasangnya di sample holder, dan mengawasi proses radiasi

Beam time merupakan riset yang harus dilakukan secara berkelompok, karena tim riset hanya diberikan jatah waktu terbatas dan semua sample yang kami miliki akan diradiasi selama 24 jam secara bergantian. Oleh karena itu, harus selalu ada orang yang mengawasi dan mengganti sample di sample holder secara berkala. Kami pun melakukan tugas itu secara bergantian dengan jadwal yang sudah ditetapkan oleh supervisor.

Tim riset kami

Memang melelahkan, tapi saya mendapat pengalaman baru serta pelajaran yang sangat berharga mengenai kerja tim dalam riset serta bisa menyaksikan bagaimana menjalani riset di fasilitas X-Ray terbesar dan ternama di Jerman.

Pengalaman di Swiss

Dari beberapa negara yang pernah saya kunjungi untuk riset, Swiss lah yang paling unik. Swiss atau Switzerland adalah negara dengan biaya hidup tertinggi di Eropa. Swiss merupakan salah satu negara maju di Eropa dengan kondisi ekonomi yang stabil. Terbukti dengan intstitusi perbankan Swiss yang terkenal di dunia sebagai bank paling aman untuk menyimpan uang. Saya yang tinggal di Copenhagen merasa biaya hidup disini termasuk mahal, tapi ternyata pikiran saya berubah ketika saya tinggal di Swiss selama 5 hari. Saya mendarat di Swiss pada tanggal 28 Juni 2017 untuk menjalani riset kelompok bersama 2 orang teman dan dibimbing oleh seorang dosen. Riset ini merupakan tugas akhir dari mata kuliah Neutron Scattering yang wajib kami ikuti.
Kami tinggal di sebuah apartemen milik DanScatt (organisasi perhimpunan Danish scientist pengguna fasilitas X-Ray dan Neutron Scattering). Apartemen tersebut terdiri dari 4 kamar, 1 ruang tamu, 1 dapur, dan 1 kamar mandi. Apartemen tersebut hanya berjarak 1,5 km dari Paul Scherrer Institute (PSI). Sebagai tim riset, kami masing-masing diberi pinjaman sepeda untuk berkendara bolak-balik dari apartemen ke lokasi riset. PSI adalah institusi riset neutron milik Swiss yang terletak di kota kecil bernama Villigen. Wilayah PSI sangat luas, terdiri dari PSI Barat dan PSI Timur yang dipisahkan oleh Sungai Rhine. Kami menggunakan salah satu fasilitas riset yang bernama SINQ.

Paul Scherrer Institute

Saya di depan alat neutron scattering di SINQ dan dosimeter yang wajib dipakai

Selama tinggal di apartemen tersebut, kami selalu memasak untuk 1 kali waktu makan (biasanya makan siang atau makan malam). Berhubung lokasi apartemen dan PSI dekat ke perbatasan Swiss-Jerman, dosen kami pergi ke Jerman untuk belanja kebutuhan makanan. Bisa dibayangkan betapa mahalnya harga makanan di Swiss sampai-sampai dosen kami rela pergi ke Jerman hanya untuk belanja makanan. Ternyata bukan hanya kami yang melakukan ini, penduduk yang tinggal di perbatasan Swiss pun memang terbiasa lintas negara untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Bagaimana dengan beam time nya? Tentunya lain di DESY, lain juga di PSI. Selama beam time di DESY, saya tidak wajib mengenakan badge atau alat deteksi radiasi apapun, kami hanya wajib mengenakan identitas pengenal berupa kartu. Sedangkan di PSI, alat radiasi neutron tidak ditempatkan dalam ruang tertutup sehingga setiap orang harus memakai dosimeter yaitu alat untuk mengukur kadar radiasi di tubuh seseorang.

Itulah cerita singkat mengenai pengalaman riset saya di Jerman dan Swiss. Setelah mengunjungi beberapa negara Eropa Barat dan Utara, ternyata memang suasana kota dan lingkungannya serupa diantaranya udara yang bersih, air keran yang bisa langsung diminum, sarana transportasi yang memadai, dan masih banyak lagi kesamaan lainnya.

BAB 3


PhD Studentship

“Belajar di saat orang lain tidur, bekerja sementara yang lain bermalas-malasan, mempersiapkan di saat orang bermain, dan bermimpi sementara lainnya sedang berharap”
William Arthur Ward

Setelah lulus studi master dari University of Copenhagen, Denmark pada tanggal 22 Juni 2018 dan kembali ke Indonesia, saya kemudian melamar lebih dari 70 lowongan PhD studentship dari internet. Apa itu PhD studentship? Itu adalah sebuah istilah untuk mahasiswa S3 yang digaji oleh universitas untuk melakukan suatu proyek riset. Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di Eropa. Oleh karena itu, mahasiswa S3 yang masuk kategori PhD studenship tidak dianggap sebagai student (pelajar), tapi sebagai employee atau asisten peneliti yang memiliki hak dan kewajiban layaknya seorang karyawan/pekerja serta visa dengan kategori pekerja. Kewajiban yang dimiliki diantaranya harus hadir dan pulang sesuai jam kerja yang ditentukan serta membayar pajak. Adapun hak yang didapat diantaranya gaji, tunjangan keluarga, tunjangan kesehatan, dan cuti tahunan.
Lowongan PhD studentship ini bisa ditemukan di situs masing-masing universitas dan masuk dalam kategori job. Selain itu, kita juga bisa mengakses melalui situs lowongan PhD umum, seperti www.euraxess.ec.europa.eu dan www.scholarshipdb.net atau situs lowongan PhD khusus untuk satu negara, seperti www.academictransfer.com (Belanda) dan www.jobbnorge.no (Norwegia).
Di halaman tersebut biasanya terdapat daftar lowongan proyek riset dengan judul tertentu dan ditanggungjawabi langsung oleh ketua grup riset yang nantinya akan menjadi supervisor kita. Layaknya lamaran pekerjaan online, jika ada judul proyek yang dirasa cocok, kita tinggal mengklik dan mengikuti langkah-langkah untuk melamar. Ada yang berupa formulir online, ada juga yang hanya berupa deskripsi dan kita harus mengirimkan CV ke alamat email sang supervisor. Sangat mudah dan cenderung tidak menghabiskan banyak waktu untuk melamar.
Adakah opsi selain PhD studentship? Ya, tentu saja ada. Yaitu PhD non-studentship (non-employee) atau yang lebih dikenal sebagai mahasiswa S3 biasa yang tidak digaji. Mahasiswa S3 jalur ini akan memiliki status sebagai student (pelajar) dan juga visa pelajar. Negara yang menerapkan PhD non-studentship diantaranya yaitu Amerika, Kanada, Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Hampir semua negara di Eropa tidak memungut biaya pendidikan untuk studi S3, kalaupun ada, biasanya sangat rendah bahkan jauh lebih rendah dibanding biaya pendidikan S3 di Indonesia. Jadi sangat mungkin jika kita daftar S3 melalui jalur non-studentship di Eropa. Tentu saja dengan skema yang berbeda. Biasanya kita menentukan sendiri calon supervisor dengan cara mengontaknya melalui email dan menyampaikan proyek riset milik kita sendiri, kemudian setelah sang supervisor mau menerima kita di grup riset yang dipimpinnya, barulah kita mendaftar ke bagian admission universitas.
Kendala yang dihadapi jika kita memilih jalur PhD non-studentship yaitu biaya hidup. Untuk memenuhi biaya hidup, ada dua cara yang bisa dilakukan yaitu mencari beasiswa atau mengandalkan uang pribadi. Berdasarkan pengalaman teman-teman S3 saya yang memilih jalur PhD non-studentship sewaktu di University of Copenhagen (ketika itu saya sedang studi S2), semuanya mendapatkan beasiswa baik dari lembaga di Indonesia atau dari lembaga internasional, contohnya Islamic Development Bank (IDB). Kesimpulannya, tidak ada mahasiswa S3 Indonesia yang studi dengan dana pribadi. Kalaupun ada, pasti bisa dihitung dengan jari. Alasannya karena biaya hidup yang sangat mahal, terutama di Eropa Utara dan Barat.

Proses Seleksi

Baik PhD non-studentship maupun studentship akan ada sesi wawancara online yang biasanya dilakukan melalui Skype. Dalam wawancara tersebut, kita harus mempresentasikan pengalaman riset selama studi master. Sang calon supervisor juga akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang beragam seputar teori, teknis riset, problem-solving, motivasi, bahkan pertanyaan yang sama sekali diluar perkiraan kita. Jadi apapun pertanyaannya, kita harus selalu siap menjawab.
Perbedaan proses seleksi antara PhD non-studentship dan studentship yaitu di bagian parameter kualifikasi atau kelayakan seseorang untuk diterima sebagai mahasiswa PhD. Untuk jalur non-studentship, parameternya lebih jelas karena kita akan daftar melalui admission universitas. Persyaratannya bisa dibaca di situs masing-masing universitas. Wawancara dengan calon supervisor porsinya hanya 20% dari proses seleksi. Kemungkinan untuk ditolak oleh calon supervisor pada saat wawancara sangat kecil sekali, berhubung kita menggunakan pendanaan eksternal yang artinya calon supervisor sangat diuntungkan karena dia tidak perlu mengeluarkan uang sedikitpun untuk keperluan riset kita.
Kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan jalur PhD studentship. Sumber dana untuk menggaji PhD studentship biasanya berasal dari dana riset milik grup riset itu sendiri yang diperoleh melalui grant ataupun dari lembaga penelitian eksternal. Dana itu akan dikelola oleh pemimpin grup riset, yang merupakan calon supervisor kita. Sehingga dalam proses seleksi PhD studentship, sang calon supervisor memiliki porsi 100% untuk menentukan apakah kita layak atau tidak untuk diterima sebagai mahasiswa PhD di grup yang dipimpinnya. Logikanya, dia yang akan menggaji kita, jadi penilaian kelayakannya bisa sangat subjektif. Bahkan nilai yang sempurna selama studi master pun, bukan jaminan bahwa kita akan diterima.

Kekurangan dan Kelebihan PhD Studentship

Melamar posisi PhD studentship sama seperti melamar kerja. Bedanya, ini bukanlah pekerjaan seperti di perusahaan. Disini kita dituntut untuk melakukan riset sebagai bagian dari studi S3 dan tentunya akan mendapatkan gelar doktor setelah lulus. Beban dan tanggungjawabnya sangat besar, terutama untuk menghasilkan output riset dalam bentuk publikasi artikel ilmiah. Masing-masing universitas memiliki kriteria sendiri untuk jumlah publikasi yang wajib diterbitkan, ada yang mensyaratkan 3 publikasi bahkan ada yang sampai 5 publikasi. Di samping itu, ada juga tugas-tugas lain yang mungkin saja dibebankan oleh supervisor, contohnya mengajar mahasiswa S1. Namun, semua beban berat itu terbayar dengan gaji yang relatif tinggi. Seperti pepatah mengatakan: ada kerja, ada upah. Gaji yang diterima sesuai dengan beban kerja yang diberikan. Berikut ini kisaran besar gaji PhD studentship di beberapa negara Eropa pada tahun 2018, sebelum dipotong pajak:
No Negara Kisaran gaji PhD per bulan
1 Norwegia 4.000 Euro
2 Denmark 3.800 – 4.000 Euro
3 Swiss 3.500 – 4.000 Euro
4 Swedia 3.000 Euro
5 Finlandia 2.500 – 3.000 Euro
6 Belanda 2.222 – 2.818 Euro
7 Austria 2.000 – 2.200 Euro
8 Belgia 1.500 – 2.000 Euro
9 Jerman 1.600 – 1.900 Euro
Sumber: https://talkwithnik.com/2018/06/19/10-european-countries-where-phd-are-well-paid/amp/

Bagaimana? Sangat menggiurkan bukan? Silahkan dikonversi sendiri ke dalam rupiah ya! Itulah sekilas kelebihan PhD studentship di Eropa. Negara-negara yang dituliskan dalam tabel adalah negara yang membayar gaji relatif tinggi, selain negara-negara tersebut tentu gajinya tidak sebesar itu. Biaya hidup dan pajak akan jadi faktor penentu besarnya gaji di suatu negara. Jadi, perhitungkan dengan teliti segala sesuatunya sebelum kalian menerima tawaran PhD studentship. Selamat mencoba!
Ada kelebihan, ada juga kekurangan. Hal yang paling krusial dalam mendapatkan posisi PhD studentship adalah persaingan yang sangat ketat. Bayangkan saja, 1 posisi diperebutkan oleh puluhan bahkan ratusan orang dari seluruh negara! Jatah untuk merekrut tidak akan lebih dari 1, atau maksimal hanya 2 orang saja, tapi itupun sangat jarang terjadi. Terlebih lagi, penilaian subjektif dari calon supervisor yang sangat dominan, membuat peluang untuk diterima menjadi sangat kecil. Saya tidak bermaksud untuk menakut-nakuti, karena faktanya memang demikian. Namun, kita tidak boleh berkecil hati, kesempatan itu selalu ada dan tidak ada salahnya untuk mencoba. Kabar baiknya, proses rekrutmen tidak bergantung waktu. Jadi persiapkan diri sebaik mungkin, perbanyak informasi, dan gencarkan aplikasi.

BAB 4


Cerita Aplikasi PhD-ku

“Manusia tidaklah malas. Mereka hanya tidak memiliki tujuan pasti. Sehingga tidak ada hal yang membuat mereka terinspirasi.” Anthony Robbins

Di bab sebelumnya, saya sudah menceritakan bahwa saya melamar lebih dari 70 PhD studentship di Eropa. Beberapa negara yang menjadi target aplikasi yaitu Denmark, Norwegia, Swedia, Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Perancis, dan Austria. Dari seluruh aplikasi itu saya berhasil dipanggil untuk wawancara dari 5 institusi yaitu 2 dari Jerman (Karlsruhe Institute of Technology dan Ruhr-Universität Bochum), 1 dari Belgia (University of Hasselt), 1 dari Belanda (University of Twente), dan 1 dari Perancis (Spin-Ion Technologies). Berhubung saya memiliki latar belakang pendidikan Fisika sewaktu S1 dan Nanoscience sewaktu S2, jadi saya mengirimkan aplikasi PhD studentship yang berhubungan dengan kedua bidang tersebut. Tetapi, saya lebih menitikberatkan proyek riset yang berhubungan dengan proyek tesis saya sewaktu S2 yaitu sintesis dan karakterisasi nanopartikel oksida logam.
Dari kelima institusi yang mengundang saya untuk wawancara via Skype, hanya 3 institusi yang proyek risetnya sangat berhubungan dengan proyek tesis S2 saya yaitu intitusi dari Jerman dan Belgia. Kenapa dua institusi lainnnya tetap mau mewawancara saya? Nah…disini saya akan bahas satu per satu.
Calon supervisor akan lebih menyukai kandidat yang memiliki kesamaan pemahaman dengannya terkait proyek riset yang akan dijalani. Tapi tidak menutup kemungkinan juga ia akan merekrut kandidat yang tidak memiliki latar belakang yang berhubungan dengan proyek tersebut.
Ketika saya diwawancara oleh Spin-Ion Technologies. Topik risetnya seputar sifat kemagnetan bahan yang sama sekali belum pernah saya ketahui. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah “kenapa kamu ingin bergabung dengan kami dan menjalankan riset yang bukan bidang keahlianmu?”, lalu saya jawab “saya tertarik karena berdasarkan informasi yang saya baca di situs Spin-Ion Technologies, institusi Anda juga melakukan sintesis dan karakterisasi bahan yang merupakan bidang yang saya kuasai, sedangkan untuk sifat kemagnetan bahan, saya akan dapat mempelajarinya setelah saya bergabung dengan tim Anda”. Lalu di akhir wawancara dia berkomentar “bagi seorang mahasiswa PhD, fase ini bukanlah tahap belajar melainkan harus mampu melakukan sesuatu yang baru”. Itu baru sepenggal wawancara dengan institusi yang kurang linier dengan studi saya.
Lain halnya dengan Karlsruhe Institute of Technology. Bidang riset mereka sangat berhubungan dengan tesis S2 saya dan ini merupakan pertama kalinya saya mendapat undangan wawancara di bulan Juli 2018, tepat 1 bulan setelah kelulusan. Wawancara via Skype berjalan lancar, saya bisa menjawab semua pertanyaan dengan baik dan saya cukup yakin dengan hasilnya. Semoga ada kabar baik, pikir saya.
Proses penilaian hingga pengumuman hasil bisa memakan waktu antara 2 minggu sampai 1 bulan, karena jumlah kandidat yang melamar cukup banyak. Pemberitahuan hasil keputusan ini biasanya dikirim melalui email masing-masing kandidat. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya mendapat email pemberitahuan yang menyatakan bahwa saya gagal. Tidak berhenti sampai disitu, penolakan demi penolakan pun terus saya dapatkan hampir setiap bulan. Ada yang mengirim konfirmasi penolakan via email, ada juga yang tanpa pemberitahuan sama sekali. Dan uniknya, penolakan via email itu tanpa disertai alasan mengapa kita ditolak. Kecewa? Tentu saja, tapi saya tidak patah semangat. Saya tetap mencoba namun saya batasi hingga 6 bulan, karena saya tidak mungkin terus-menerus melakukan sesuatu yang pada akhirnya akan gagal. Saya harus mengevaluasi diri.
Setelah 6 bulan berlalu, saya memperbaiki format CV dan cover letter di awal tahun 2019. Saya rasa sudah cukup lamaran PhD studentship dan tiba saatnya mengganti strategi. Ya, saya memutuskan untuk tidak lagi melamar PhD studenstship. Saya akan mencoba cara lain yaitu PhD non-studentship.
Langkah pertama yang saya lakukan yaitu mencari supervisor yang bidang penelitiannya sesuai dengan minat saya. Pemilihan negara pun saya persempit menjadi negara-negara berbahasa inggris yaitu Amerika, Australia, Inggris, dan Selandia Baru. Saya memilih keempat negara itu karena kelak saya akan membawa serta suami dan anak saya yang berusia 5 tahun. Supaya nantinya tidak ada kendala bahasa karena anak saya harus sekolah dan suami harus bekerja di negara tersebut. Sejak kecil, anak saya memang sedikit demi sedikit dibiasakan untuk berbahasa inggris karena kami memang punya rencana untuk studi dan bekerja di luar negeri.
Saya mengontak kurang lebih 20 professor dari keempat negara tersebut. Tidak semua berjalan mulus karena ada juga beberapa professor yang menolak untuk menjadi supervisor dan ada juga yang tidak membalas email saya. Namun, saya masih punya secercah harapan karena cukup banyak juga yang membalas email dan bersedia menjadi supervisor saya, diantaranya:

  1. University of Glasgow, Inggris
  2. University of Southampton, Inggris
  3. University of Liverpool, Inggris
  4. University of Newcastle, Inggris
  5. University of Swinburne, Australia
  6. University of Murdoch, Australia
  7. University of Massey, Selandia baru
    Jika dibandingkan dengan aplikasi PhD studentship yaitu 5:70 respon positif, strategi PhD non-studentship ini lebih menjanjikan dengan 7:20 respon positif. Namun kendala selanjutnya adalah sumber pendanaan studi.
    Setelah berdiskusi dengan suami, akhirnya kami memutuskan untuk memilih 4 universitas untuk maju ke tahap pendaftaran melalui admission, yaitu Glasgow, Southampton, Murdoch, dan Massey. Kami memilih 4 universitas ini berdasarkan area riset yang paling dekat dengan latar belakang studi saya dan juga ketersediaan beasiswa. Pendaftaran untuk calon mahasiswa PhD umumnya tidak dikenakan biaya, jadi sebenarnya kita bisa mendaftar sebanyak-banyaknya.
    Jika dilihat dari negara asalnya, keempat universitas itu berasal dari Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Tidak mudah untuk menentukan beasiswa yang tepat untuk negara-negara tersebut. Alasannya karena: 1) di Inggris nyaris tidak ada lembaga independen pemberi beasiswa untuk mahasiswa PhD; 2) Australia memiliki 2 lembaga pemberi beasiswa yaitu Australia Awards Scholarships (AAS) dan Endeavour. Sayangnya, Endeavour yang dulu terkenal dengan nilai beasiswanya yang cukup besar, sekarang sudah meniadakan Endeavour Leadership Program (ELP) pada tahun 2019 dan menggantinya dengan Endeavour Reguler. Sementara beasiswa AAS yang notabene beasiswa ini diperuntukkan bagi PNS dari berbagai kementrian di Indonesia, serta diprioritaskan untuk pelamarnya di daerah timur Indonesia yang artinya saya tidak termasuk kualifikasi diantara kedua persyaratan di atas. Selandia Baru hanya memiliki satu lembaga pemberi beasiswa yaitu New Zealand Government Scholarships, dan lagi-lagi hanya diprioritaskan untuk penduduk Indonesia di bagian timur.
    Pada bulan September 2019, dengan mempertimbangkan beasiswa yang sedang membuka pendaftaran, akhirnya saya memutuskan untuk daftar beasiswa Schlumberger Foundation. Beasiswa ini khusus mendanai calon mahasiswa PhD perempuan dari negara berkembang yang berkecimpung di bidang science, technology, engineering, dan mathematics atau biasa disebut STEM, dengan syarat sudah memiliki surat penerimaan atau letter of acceptance (LoA) dari universitas yang dituju. Saat itu saya sudah memiliki LoA dari 3 universitas yaitu Glasgow, Southampton, dan Murdoch. Sementara untuk University of Massey, masih menunggu kabar dari pihak admission. Untungnya, Schlumberger Foundation ini menerima dua opsi universitas untuk didanai oleh beasiswa, yang nantinya akan dipilih salah satu oleh tim penilai. Setelah berdiskusi dengan suami, akhirnya kami memutuskan untuk memasukkan University of Southampton dan Glasgow sebagai universitas tujuan.
    Untuk University of Murdoch, kami mencari alternatif beasiswa selain AAS dan Endeavour. Setelah membaca informasi dari beberapa sumber online, kami menemukan fakta menarik seputar pendanaan studi di Australia khusus untuk S3 yaitu Research Training Program (RTP). Beasiswa RTP ini didanai oleh pemerintah Australia dan diperuntukkan bagi mahasiswa domestik dan internasional dengan dana yang dikelola oleh masing-masing universitas. Oleh karena itu, semua universitas memiliki opsi beasiswa RTP ini meskipun jadwal pendaftarannya berbeda-beda.
    Saya sempat berdiskusi mengenai beasiswa RTP ini dengan calon supervisor dari University of Swinburne. Dia mengatakan bahwa meskipun beasiswa ini diperuntukkan bagi mahasiswa domestik dan internasional, tapi yang menjadi prioritas adalah mahasiswa domestik. Saya menerima masukkan tersebut, tapi saya tetap penasaran ingin mendaftar beasiswa RTP. Saya tidak mau LoA yang sudah saya dapat menjadi sia-sia, dan akhirnya saya mendaftar beasiswa RTP di University of Murdoch.
    Sampai disini, masalah kampus dan beasiswanya sudah selesai, tinggal menunggu pengumuman hasil beasiswa. Berbeda dengan pengumuman PhD studentship yang bisa dibilang instan, pengumuman beasiswa ini bisa memakan waktu antara 1-3 bulan. Tidak mungkin berdiam diri selagi menunggu, saya pun mencoba daftar ke universitas-universitas lain yang memiliki peluang beasiswa.
    Sewaktu studi S2 di University of Copenhagen, saya sempat ngobrol dengan teman dari Indonesia yang sedang studi S3 di universitas yang sama. Dia bercerita bahwa di awal-awal studi, supervisornya tidak mau berbagi proyek penelitian dengan dia karena teman saya ini adalah PhD non-studentship. Sang supervisor sedikit “menganak tirikan” dia dan lebih terbuka terhadap mahasiswa S3 lainnya yang sebelumnya menjadi research assistant di grup tersebut.
    Terinspirasi oleh cerita teman saya tersebut, saya terpikir untuk melamar sebagai research assistant atau biasa disebut RA. Syukur-syukur kelak bisa mendapat pendanaan untuk studi dan bergabung secara resmi sebagai mahasiswa PhD studentship. Kelebihan menjadi RA di suatu grup riset yaitu kita sudah mengetahui proyek riset yang sedang berjalan, dan posisi sebagai RA itu pun mendapat gaji dari ketua grup riset. Lebih tepatnya bisa disebut asisten riset yang statusnya murni pekerja.
    Di akhir bulan September 2019, saya melamar sebagai RA di University of Malaya dengan cara mengontak secara langsung seorang direktur kelompok riset via email. Sang professor dengan sangat senang hati menerima saya, lalu saya diundang untuk wawancara tatap muka dengannya. Seminggu kemudian saya terbang ke Malaysia, lalu bertemu sang professor. Dia orang yang sangat baik dan sederhana, dia sangat tertarik dengan latar belakang pendidikan saya. Di akhir pembicaraan, dia menawari saya gaji sebesar 1,500 RM per bulan. Meskipun gajinya tidak besar, tapi ini akan menjadi pengalaman yang sangat berguna, pikir saya.
    Di awal bulan Oktober 2019, saya mengajukan visa RA ke Malaysia. Meskipun masih sesama negara ASEAN, kita tetap harus mengajukan visa untuk keperluan studi atau bekerja karena kita akan tinggal untuk waktu yang cukup lama. Ketika mengajukan visa Malaysia, saya tidak berpikir mengenai aplikasi-aplikasi beasiswa saya, karena saya tidak bisa menunggu sesuatu yang belum pasti. Apa yang bisa saya raih di depan mata, maka itulah yang saya kerjakan karena kesempatan itu tidak datang dua kali.
    Tanpa diduga, proses pengajuan visa ini juga memakan waktu yang sangat lama. Setelah 2 bulan berlalu, belum juga ada tanda-tanda bahwa visa saya akan selesai. Pada pertengahan bulan Desember 2019, saya mendapat kabar dari University of Murdoch bahwa aplikasi RTP saya gagal. Ketika itu saya berpikir, mungkin Australia memang belum menjadi rejeki saya dan saya pun masih berharap pada RA di Malaysia.
    Menjelang akhir Desember 2019, saya kembali mendapat kabar dari kordinator admission University of Murdoch bahwa saya mendapat tawaran beasiswa kampus yang bernama Murdoch International Postgraduate Scholarship (MIPS). Beasiswa ini mencakup biaya hidup bulanan, asuransi kesehatan, tiket pesawat keberangkatan, dan pembebasan biaya pendidikan selama 3 tahun. Senang, kaget, itulah yang saya rasakan ketika mendapat kabar ini. Kenapa? Karena nilai beasiswa tersebut cukup untuk membawa serta suami dan anak saya tanpa harus menyediakan uang jaminan. Seketika saya mengucap syukur karena ini merupakan hadiah terindah dari Yang Maha Kuasa di penghujung tahun 2019. Tanpa berpikir panjang lagi, saya langsung menerima tawaran tersebut dan menandatangani surat perjanjian.
    Usaha keras yang berbuah hasil, inilah yang saya dapatkan setelah berjuang selama 1,5 tahun. Selama itu, banyak sekali hal-hal yang saya alami, terutama yang didominasi penolakan. Rejeki itu memang datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Tinggal seberapa besar usaha yang harus kita lakukan untuk menjemput rejeki itu.

BAB 5


Mendapat Beasiswa Untuk S3 di Australia

Belajar di saat orang lain tidur, bekerja sementara yang lain bermalas-malasan, mempersiapkan di saat orang bermain, dan bermimpi sementara lainnya sedang berharap”
William Arthur Ward

Australia bukanlah negara yang menganut PhD studentship, begitu juga dengan Amerika, Inggris, Kanada, dan Selandia Baru. Seluruh mahasiswa internasional baik jenjang S1, S2, dan S3 wajib membayar biaya pendidikan yang sangat mahal. Untuk studi di negara-negara tersebut, kita tidak punya pilihan lain, antara biaya sendiri atau mencari beasiswa.
Beasiswa pun ada dua jenis, yaitu beasiswa full dan beasiswa parsial. Beasiswa full menanggung seluruh biaya pendidikan dan juga biaya hidup. Artinya kita dibebaskan dari iuran semester, plus mendapat uang saku untuk menutupi biaya hidup. Uniknya, Australia tidak mengenal “gaji” bulanan. Biaya hidup yang lazimnya diberikan setiap bulan, malah diberikan setiap 2 minggu. Begitu juga dengan sewa-menyewa, pembayaran akan jatuh tempo setiap 2 minggu.
Lain lagi dengan beasiswa parsial, biasanya beasiswa ini hanya menanggung biaya pendidikan. Jika kita mendapat beasiswa ini, maka kita harus membiayai sendiri keperluan hidup selama studi. Ada beberapa contoh teman saya yang mendapat beasiswa parsial ini. Untuk menutupi biaya hidup, ada yang mencari beasiswa eksternal dan ada juga yang memilih untuk bekerja, berhubung kita memiliki jatah berkerja maksimal 20 jam per minggu dengan visa pelajar. Pekerjaan yang bisa dilakukan pun hanya kerja paruh waktu (part time job) dan terbatas pada kerja kasar. Menurut teman saya, cara ini sangat berat karena pekerjaan kasar sangat menguras tenaga, yang akhirnya tidak memiliki waktu untuk belajar setelah pulang ke rumah karena kelelahan. Hal yang paling banyak dialami oleh mahasiswa dengan part time job adalah kesulitan membagi waktu antara belajar dan bekerja. Bahkan banyak juga yang pada akhirnya drop out dan tidak menyandang gelar apapun ketika kembali ke negara masing-masing.
Saya sangat bersyukur karena saya mendapat beasiswa full dari University of Murdoch. Pada tahun 2016, saya pun mendapat beasiswa full dari Pemerintah Denmark untuk studi S2 di University of Copenhagen. Beasiswa yang saya dapat kala itu hanya cukup untuk menanggung biaya hidup satu orang, yaitu saya sendiri. Namun, beasiswa kali ini berbeda nilainya karena saya bisa membawa serta keluarga.
Selain itu, beasiswa ini tidak dikenakan dipotong pajak dan yang paling penting, beasiswa ini tidak menuntut ikatan apapun. Artinya, saya bebas menetukan pilihan, apakah saya akan kembali ke Indonesia ataukah akan melanjutkan karir di luar negeri setelah lulus nanti.
Itulah beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan ketika saya dan suami berdiskusi untuk mengambil tawaran beasiswa ini. Disamping juga mempertimbangkan area riset, karena saya bergabung di grup riset Physics and Nanotechnology yang sangat linier dengan latar belakang studi saya ketika S1 dan S2.

BAB 6

PERSYARATAN BEASISWA

“Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali nampak mustahil. Kita baru yakin kalau kita telah melakukannya dengan baik”
-Evelyn Underhill

Setiap beasiswa memiliki persyaratan yang beragam dan informasinya sudah tersedia di situs masing-masing beasiswa. Hampir seluruh proses pendaftaran beasiswa dilakukan secara online, meskipun masih ada penyedia beasiswa yang mengharuskan untuk mengirim seluruh dokumen persyaratan via pos. Yang akan saya jelaskan disini adalah persyaratan beasiswa secara umum melaui pendaftaran online. Jadi kita harus menyiapkan seluruh dokumen dalam bentuk file yang siap untuk diunggah di situs masing-masing beasiswa, diantaranya:

  1. Ijazah dan transkrip nilai
    Kedua dokumen ini merupakan syarat mutlak dalam pendaftaran beasiswa. Untuk beasiswa S3, kita harus menyiapkan ijazah dan transkrip baik S1 dan S2. Pastikan juga bahwa kita sudah memiliki legalisir copy keduanya, karena ada juga beasiswa yang mensyaratkan dokumen asli beserta legalisir copy-nya.
  2. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) atau juga Grade Point Average (GPA)
    Untuk beasiswa S3, beberapa penyedia beasiswa ada yang mensyaratkan IPK selama S1 berkisar antara 3,25 – 3,7. Ada juga yang melihat IPK secara keseluruhan selama S1 dan S2, bahkan ada yang hanya melihat IPK selama S2 saja. Yang jelas, usahakan IPK keseluruhan kita tidak dibawah 3,2.
  3. Paspor
    Persiapkan paspor dengan masa berlaku minimal 2 tahun. Tidak semua penyedia beasiswa akan meminta paspor, namun ini akan berguna sekali ketika kita akan mengajukan visa jika sudah lolos beasiswa.
  4. Surat penerimaan atau Letter of Acceptance (LoA) dari universitas yang dituju
    Sebagian besar penyedia beasiswa menjadikan LoA ini sebagai syarat mutlak, namun masih ada juga beberapa yang tidak mewajibkan kita untuk memiliki LoA. Menurut saya, akan lebih baik jika kita sudah memiliki LoA karena ini merupakan bukti bahwa kita serius untuk studi di universitas yang kita tuju dan bisa menjadi poin plus untuk tim penilai beasiswa.
  5. Sertifikat IELTS/TOEFL iBT
    Jika kita sudah memiliki LoA, maka sertifikat bahasa inggris akan menjadi komponen pelengkap saja. Karena, yang berhak menilai kemampuan bahasa kita adalah universitas yang kita tuju. Standar skor IELTS minimal 6,5 dengan skor setiap komponen tidak boleh kurang dari 6. Sedangkan untuk TOEFL iBT, skor minimalnya yaitu 92. Berhubung saya menggunakan IELTS untuk daftar baik ke universitas maupun beasiswa, akan lebih aman jika kita menargetkan skor minimal 7.
  6. Essay atau motivation letter
    Hampir seluruh beasiswa mensyaratkan essay sebagai komponen utama. Saran saya, jadilah diri kita sendiri dalam menulis essay. Kita boleh saja mencari contoh-contoh motivation letter, namun jangan pernah kita menjiplak kata-kata atau kalimat milik orang lain karena tim penilai beasiswa sudah membaca ratusan bahkan ribuan essay dan dia akan tau keaslian pemikiran yang tertuang dalam essay tersebut.
  7. Proposal penelitian
    Ini merupakan bagian yang paling menguras waktu dan pikiran karena proposal penelitian merupakan syarat yang penting untuk mendaftar beasiswa S3. Tim penilai akan melihat kelayakan riset kita berdasarkan proposal ini. Tidak ada kriteria benar dan salah dalam menilai proposal penelitian, hanya kita harus dapat meyakinkan tim penilai bahwa riset kita sangat penting dan bisa diaplikasikan di masa yang akan datang.
  8. Surat referensi dari supervisor/pembimbing terdahulu
    Penting bagi kita untuk menjaga hubungan baik dengan dosen pembimbing semasa S1 dan S2, karena hal tersebut merupakan salah satu faktor penentu. Biasanya, surat referensi menyatakan berapa lama sang supervisor mengenal kita, prestasi akademik kita semasa kuliah, kelebihan-kelebihan kita, kemampuan sosial dan kemampuan analisis yang kita miliki. Faktor-faktor tersebut bisa diungkapkan dalam deskripsi atau dalam bentuk skor penilaian, tergantung dari format surat referensi.
  9. Surat referensi dari calon supervisor di universitas yang dituju
    Ini bukanlah syarat wajib, namun beberapa beasiswa ada yang mensyaratkan hal ini dan aja juga yang hanya wajib melampirkan bukti korespondensi dengan calon supervisor.

Selain hal tersebut, kita juga harus memperhatikan jadwal waktu-waktu penting, diantaranya:

  1. batas waktu pendaftaran beasiswa
    Berhubung proses beasiswa melibatkan pihak ketiga yaitu supervisor yang juga punya agenda padat. Sementara, surat referensi harus sudah dikirim oleh supervisor ke pihak pemberi beasiswa sebelum batas waktu pendaftaran. Alangkah baiknya jika kita memberitahu supervisor beberapa minggu sebelum batas waktu, karena proses seleksi beasiswa ini sangat ketat. Jika kita kekurangan salah satu dokumen persyaratan, maka otomatis kita tidak akan dipertimbangkan untuk maju ke tahap selanjutnya alias gugur di tengah jalan.
  2. pengumuman hasil seleksi beasiswa
    Jika kita menggunakan beasiswa eksternal untuk membiayai studi S3, kita wajib memberitahukan kepada admission universitas kapan kita akan memulai studi. Karena ini akan berhubungan dengan kontrak studi. Biasanya seorang mahasiswa PhD harus menyelesaikan studinya dalam rentang waktu antara 3–4 tahun, tergantung dari negara tujuan studi. Dengan mengetahui tanggal pengumuman hasil seleksi beasiswa, kita dapat memprediksikan kapan kita akan memulai studi.

Setelah saya berhasil mendapatkan beasiswa S3 dengan memenuhi semua persyaratan di atas, saya dapat menyimpulkan beberapa hal yang menjadi kelebihan saya dibandingkan kandidat lain, yaitu:

  1. pengalaman melakukan penelitian di luar universitas sewaktu S2.
  2. nilai A untuk mata kuliah S2 pada area penelitian yang diminati.
  3. area penelitian S2 yang linier dengan grup riset yang akan dituju.
  4. mata kuliah online pendukung yang berkaitan dengan area penelitian S2, yang dibuktikan dengan sertifikat dari universitas yang memiliki reputasi baik
  5. tidak ada komponen skor IELTS yang di bawah 6,5.
  6. pengalaman menulis buku dan sudah terdaftar secara resmi di Perpustakaan Nasional Indonesia disertai nomor ISBN.


BAB 7


Menginjakkan Kaki di Perth

“Hidup dengan melakukan kesalahan akan lebih terhormat, daripada selalu benar karena tidak melakukan apa-apa”
George Bernard Shaw

Tiba di Perth

Saya mendarat di Perth pada tanggal 13 Maret 2020. Situasi saat itu sedang tidak bagus karena seluruh dunia sedang dilanda virus mematikan yang bernama Corona virus 2019 atau disingkat Covid-19. Sebenarnya saya tidak ingin membahas virus ini, tapi virus ini memberikan dampak pada semua orang termasuk saya.
Singkat cerita, virus ini berasal dari salah satu provinsi di Cina yaitu Wuhan dan pertama kali terdeteksi pada bulan Desember 2019. Itulah mengapa virus ini dinamakan Covid-19. Memasuki awal tahun 2020, virus ini sudah menyebar ke Italia, Iran, dan Korea Selatan hingga negara-negara ini menjadi negara dengan kasus terparah yang banyak menelan korban.
Sementara di Indonesia belum terdengar ada orang yang terpapar virus ini, hingga di awal Maret 2020, muncul berita yang menyatakan 2 orang WNI pertama yang terkena virus ini. Kemudian dimulailah ketegangan di Indonesia sejak saat itu. Harga masker kesehatan mendadak naik dan kemudian menjadi langka, begitu juga dengan hand sanitizer.
Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menyatakan bahwa virus ini merupakan pandemi global. Ya, tepat 2 hari sebelum penerbangan saya ke Perth. Pada hari-H penerbangan, saya tiba di bandara Soekarno-Hatta dengan mengenakan masker kain serta diantar oleh suami dan anak saya. Karena situasi sedang tidak kondusif dan anak kami baru berusia 5 tahun, kami memutuskan agar saya berangkat terlebih dahulu. Ada suasana yang jauh berbeda dari biasanya, yaitu bandara sepi dan semua petugas bandara mengenakan masker. Begitu juga ketika saya menaiki pesawat, seluruh kru pesawat dan pramugari pun mengenakan masker.
Di setiap berita yang saya baca mengenai virus ini, hampir semua penyebab kasus orang yang positif yaitu karena kontak dengan orang asing ketika bepergian ke luar negeri. Saya hanya bisa pasrah, berdoa, berikhtiar, dan memohon perlindungan pada Allah SWT. Saya sudah melangkah maju dan tidak mungkin mundur, apapun kondisinya. Saya tetap harus terbang ke Perth karena surat perjanjian sudah disepakati sejak Desember 2019 bahwa saya akan memulai studi S3 di Murdoch University pada tanggal 16 Maret 2020.
Setelah transit selama 2 jam di Changi Airport Singapura dan menempuh perjalanan selama 5 jam, akhirnya saya tiba di Perth Airport. Pada saat memasuki imigrasi bandara, ada papan pengumuman yang bertuliskan: “Orang-orang yang berasal dari Cina, Italia, Iran, dan Korea Selatan atau orang-orang yang pernah transit di negara tersebut, maka wajib mengisolasi diri selama 14 hari dan tidak diperkenankan untuk keluar rumah dalam jangka waktu tersebut”. Alhamdulillah saya aman, pikir saya, tidak perlu mengisolasi diri.
Saya dijemput oleh utusan dari Murdoch Guild yang khusus penangani penjemputan mahasiswa internasional. Setelah sampai di mobil, saya berpikir bahwa saya akan bertemu dengan mahasiswa internasional lainnya. Ternyata tidak, kali ini saya hanya sendiri lalu diantarkan ke alamat rumah tempat saya akan tinggal. Saat itu saya merasa bahwa pelayanan Murdoch Guild ini benar-benar spesial, meskipun hanya 1 orang tapi tetap dilayani dengan baik.
Sesampainya di rumah, saya disambut dengan hangat oleh anak sang pemilik rumah yang berusia 5 tahun. Tuan rumah, yang merupakan bapak kost, adalah orang asli Australian yang baik dan ramah. Bayangkan saja, di tengah pandemi virus dan kecurigaan akan pendatang asing, dia mau menerima saya dengan tangan terbuka untuk menyewa kamar di rumahnya. Dia percaya pada saya meskipun belum pernah bertemu sebelumnya dan hanya kontak melaui video call. Saya kembali mengucap syukur pada Allah SWT, karena hanya dengan kuasa-Nya lah saya bisa bertemu orang ini.
Beberapa hari kemudian, tepat pada tanggal 16 Maret 2020, saya datang ke kampus untuk menghadap pihak admission. Setelah mengisi formulir registrasi, lalu dia mengirimkan email konfirmasi kepada saya dan supervisor yang menyatakan bahwa saya sudah resmi memulai studi, kemudian saya mendapatkan kartu mahasiswa. Satu urusan administrasi telah selesai, selanjutnya saya pergi menghadap supervisor.
Berbekal catatan yang diberikan supervisor via email, saya mencari ruangan kantornya. Gedung tempat ruangannya berada cukup berliku, lalu saya pun bertanya pada seseorang yang baru keluar dari lab. Setelah mengikuti arahan orang tersebut, saya tiba di lorong lantai 2 dan tidak sengaja berpapasan dengan sang supervisor yang baru saja keluar ruangan untuk mengambil secangkir kopi. Dia langsung mengenali saya dari kerudung yang saya kenakan. Kami berbincang sebentar, lalu dia berkata: “You have to be settled first, then we will meet next week on Monday”. Lega rasanya telah tatap muka walau hanya sebentar, yang penting dia tau bahwa saya sudah tiba dengan selamat.

Membuka Rekening Bank

Sistem perbankan Australia sangat memudahkan calon konsumen dalam membuka rekening bank. Saya sudah membuka akun secara online sejak satu bulan sebelum keberangkatan. Cara online ini sangat mempersingkat proses pembukaan rekening, karena setelah tiba di negara tujuan, kita tinggal mendatangi cabang bank yang telah kita pilih lalu menyerahkan seluruh dokumen persyaratan kemudian mendapatkan kartu ATM. Saya memilih opsi rekening mahasiswa sehingga bisa mendapat pembebasan biaya administrasi bulanan.
Setelah bertemu supervisor, jadwal saya berikutnya adalah pergi ke bank. Seluruh dokumen persyaratan sudah saya bawa. Berhubung cabang bank yang saya pilih berada di pusat kota Perth dan harus ditempuh menggunakan kereta, jadi saya harus membuat kartu transportasi terlebih dahulu.
Saya cukup terkesan dengan Murdoch University, karena untuk membuat kartu transportasi atau yang disebut SmartRider, kita tidak perlu pergi ke stasiun kereta. Cukup hanya dengan mendatangi Murdoch Guild dan membeli SmartRider disana dan secara otomatis kita mendapat tarif mahasiswa. Ternyata Murdoch Guild ini merupakan organisasi kemahasiswaan, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Indonesia, yang memiliki fungsi advokasi, dukungan, dan layanan yang dijalankan secara independen oleh mahasiswa.
Setelah mendapatkan SmartRider, saya bergegas pergi ke stasiun Murdoch untuk naik kereta. Perjalanan dari stasiun Murdoch ke stasiun Perth hanya memakan waktu 15 menit dan melewati pemandangan yang sangat indah karena Murdoch dan Perth dipisahkan oleh sungai yang luas bernama Swan River.
Cukup mudah menemukan lokasi bank yang saya tuju, hanya 400 meter dari stasiun Perth. Setelah sampai di bank, kita akan disambut oleh customer service (CS) dan ditanya apa kepeluannya, tidak menggunakan sistem antrian. Setelah berbincang sebentar, saya lalu dipersilakan untuk duduk dan menunggu. Salah seorang CS lalu mendatangi saya, langsung saja saya jelaskan keperluan saya dan memperlihatkan semua dokumen yang saya bawa. Dia lalu bertanya: “Anda berasal dari mana dan kapan tiba di Perth?”, saya jawab: “Saya dari Indonesia dan tiba di Perth 3 hari yang lalu, tanggal 13 Maret”. Dia lalu menyuruh saya untuk menunggu, sementara dia bertanya kepada rekannya.
Lalu dia kembali pada saya dan berkata: “Mohon maaf, kami tidak bisa memproses pembukaan rekening karena Anda harus menjalankan karantina selama 14 hari di rumah. Anda boleh datang lagi kesini di hari ke-15 sejak tanggal kedatangan Anda”. Saya hanya bisa kesal dan kecewa dalam hati dan bertanya-tanya, bukankah tidak ada aturan untuk karantina bagi saya? Karena saya bukan berasal dari negara dengan kasus Covid-19 terparah. Tapi, apa boleh buat? Akhirnya saya kembali ke rumah dengan kecewa.

Perubahan Situasi yang Sangat Cepat

Saya merasa penasaran dengan aturan karantina tersebut, akhirnya saya mencarinya di internet. Ternyata, saya menemukan di situs Departemen Kesehatan Pemerintah Australia bahwa aturan karantina berubah sejak tanggal 15 Maret 2020. Disana disebutkan bahwa siapapun yang tiba di Australia mulai tanggal 15 Maret malam hari maka wajib melakukan karantina di rumah atau di hotel. Aturan ini berlaku untuk semua orang, tidak lagi terbatas pada pendatang dari keempat negara di atas. Tapi, saya tiba di Australia pada tanggal 13 Maret, rasanya tidak adil kalau saya juga terkena aturan tersebut.
Saya masih belum menyerah, lalu saya mengirimkan email komplain kepada pihak bank. Sayangnya, mereka tidak merespon email saya. Akhirnya saya pasrah, harus menunggu selama 14 hari yang artinya beasiswa saya belum bisa dicairkan. Untungnya saya masih menyimpan cadangan uang di rekening bank saya di Indonesia. Di saat seperti ini, nilai rupiah bisa melemah kapan saja. Akhirnya saya bergegas untuk menarik seluruh uang saya di rekening tersebut.
Seminggu kemudian, saya kembali menghadap supervisor. Saya dan kedua supervisor membicarakan banyak hal, mulai dari hal yang berhubungan dengan proyek riset, gambaran umum grup riset mereka, hingga rencana-rencana kedepan. Beruntungnya, mereka paham bahwa saya sudah berkeluarga dan mengizinkan saya untuk mengunjungi keluarga kapan pun. Sebelum mengakhiri pembicaraan, supervisor mengatakan bahwa mulai hari Jumat minggu ini, tidak ada lagi yang diperbolehkan untuk beraktifitas di kampus atau yang disebut dengan lockdown. Lagi-lagi saya merasa kecewa karena baru saja saya tiba disini dan sedang bersemangat penuh untuk menjalani kehidupan sebagai mahasiswa PhD, tiba-tiba seluruh keadaan berubah. Seluruh pembelajaran di kelas diganti menjadi online, begitu juga dengan orientasi mahasiswa baru yang wajib saya ikuti pun diganti dengan pertemuan online. Bahkan seluruh riset mahasiswa di lab pun dihentikan.
Di satu sisi saya merasa kecewa, namun di sisi lain saya juga bersyukur karena saya sudah sampai disini dengan selamat. Tidak lama kemudian, pada tanggal 19 Maret 2020, Pemerintah Australia mengumumkan secara resmi bahwa Australia telah menutup perbatasan negaranya dan melarang pendatang yang bukan warga negara untuk masuk. Inilah yang saya khawatirkan sejak awal, berhubung saya berencana untuk membawa suami dan anak saya kesini. Semua keadaan ini memang di luar prediksi, saya pun hanya bisa menerima aturan yang diberlakukan dan berharap agar wabah Covid-19 ini segera berakhir.

BAB 8


Memulai Riset di Perth

website is currently under updating

Translate »
LinkedIn
Share
Instagram
Scroll to Top